Home

  • Traffict-light Platform

    Rasyid Kalifa suka berjam-jam berdiri di dekat traffict-light. Iya menyimak suara himbauan yang terdengar setiap lampu merah menyala. Suara yang timbul tenggelam di antara suara cempreng pengamen, klakson mobil atau motor, atau gerutu warga yang kehilangan pendapatan selama masa pandemi. Bocah-bocah bertubuh silver yang sudah lama lupa dengan sekolah itu tak pernah ketinggalan untuk unjuk gigi, berpartisipasi melengkapi dan menambah fungsi traffict-light agar Tanjungkarang tampak baik-baik saja. Lihat, mereka bergaya macam model di televisi, langkah dan gayanya sudah diatur cukup rapi. Suara himbauan itu kembali terdengar. Berulang. Bergema. Berulang. Para pengendara yang gugup dengan masa depannya menyeka keringat, menatap lampu merah dengan sorot mata cemas, dan suara himbauan itu tak jarang merampas konsentrasinya. “Hati-hati dengan money politik. Selalu kenakan masker, jauhi kerumunan.” Suara himbauan terus diperdengarkan, tak peduli di masa penghujan banyak jalan berubah jadi kolam renang, selokan mampet,  sanitasi kian buruk, pemukiman kumuh, kurva kemiskinan yang terus bergerak naik, atau mewabahnya warga yang terjangkit virus amnesia kultural. Walikota kembali ke studio rekaman untuk memproduksi himbauan baru. Tak berselang lama suaranya sudah tersebar di semua traffict-light. Dan ia begitu bahagia, milyaran rupiah yang ia keluarkan terbayar sudah. Parpol yg mengusungnya pun tampak puas dg kinerja walikota. Mereka berpesta di jantung kota. Hum-ham-hum, hola-hola-hola.

    Iklan
  • Halo

    Halo, senior. Sapanya pada sekumpulan orang yg rambutnya mulai beruban, yang sebagian berdiri & sebagian lagi mondar-mandir di ruang tunggu. Apa kalian masih ingat rumah, bapak, ibu, kota-kota yang ingin kita kunjungi? tanyanya, setelah sapaan pertama tak ditanggapi. Dan kembali tak ada tanggapan. Ia merasa ada dunia fiksional yg sudah jauh berbeda, meski semua berada di ruang tunggu yang sama. Koor gerutu dan keluh kesah dari yang berdiri dan yang mondar mandir. Anomali bertopang dagu, ia tahu suaranya tak akan terdengar ke sekumpulan orang yg terus berdiri dan mondar-mandir, yg kepalanya mungkin lebih berisik dari pasar malam, yang hatinya selalu gugup, seperti seorang yang untuk kali pertama akan bertemu idola atau hendak menempuh ujian. Terkadang ia berpikir bagaimana ia bisa berada di ruang tunggu yang sama. Ketidaksengajaan yg unik. Tapi ia tak membenci keterlemparan ini, juga tak menyalahkan sekumpulan orang yang dulu sedikit banyak pernah mengajarinya nama-nama jalan, warna langit, cara memaki rembulan, cara membuat kesadaran melayang lalu nyasar ke tempat-tempat imajiner yang jauh, lalu bertingkah layaknya colombus, marco polo, don quixote, vasco de gama, dan lain sebagainya. Ia duduk, menyalakan rokok. Sekumpulan orang yg sudah bertahun-tahun berdiri di tempatnya sesekali melirik, menghela nafas, tanda ada dunia fiksional kembali bertabrakan. Ia menatap beberapa botol di atas meja, ia sungguh-sungguh mencermati, tapi hasilnya tetap sama; semua angsa sudah terbang, tak ada satu pun yg tersisa di dalam botol. Sementara ia masih di ruang tunggu, bersama botol-botol, & sekumpulan orang yang selalu bertambah jumlahnya, hilir mudik di tempat yang sama, dengan kesadaran yang sama. Mengapa tak ikut terbang bersama angsa-angsa itu? Mengapa justru masih bersama botol-botol di atas meja ini? Pikirnya. Riuh tawa yang bukan dari kepalanya.

  • Takut

    Sejak kapan kita mulai merasa takut kehilangan? Ia diam. Satu dorongan dari ruang tunggu membekukan keberaniannya. Tuhan ada di mana saat pandemi? Ia masih diam. Kepolosan bergerak ke jalan & pasar-pasar, tanpa masker atau apd. Lalu angka-angka bergerak, menggeliat, melompat ke sana ke mari, angka-angka terus beranak pinak. Tak berselang lama, penduduk kota kecil itu diliputi ketakutan pada angka-angka. Ophelia mengenakan Apd, menyeret kepolosan yang tiba-tiba demam.  Robert mengenakan kostum renang, berlari di jalan yg ditinggalkan Ophelia. Di depan rumah sakit langkahnya melambat, melihat gumpalan kecurigaan terhadap segala bentuk the other berbaris rapi di lorong ruang tunggu dan loket pengambilan obat.

  • PPKM

    PPKM diperpanjang. Panjang sekali. Sampai ke usus 12 jari, ke titik nol kepedulian. Zizek meneguk kopi dengan gugup. Buru2 menyembunyikan kecemasannya dan bersembunyi di kamar solidaritas yg gelap & pengap.  Ia membuka tirai, menyaksikan relasi yg kian rombeng dilubangi ketakutan pada pandemi & kelaparan. Sekrg semakin jelas siapa teman-temanmu bukan? Masih ada? Cibir Zizek setelah menyemburkan asap kelabu ke ruang kosong.

  • Penyadap Karet

    Sudah semalaman getah karet  melompat lalu mendekam di mangkuk coklat, sementara dua ekor monyet yang semula duduk di dahan tiba-tiba bangkit lalu sembunyi. suara knalpot motor mendekat, angin berdesir. dua tubuh kurus menjejak rumputan, menuang mangkuk coklat ke ember hitam, setiap pagi, sudah belasan atau puluhan tahun begitu. sebentuk privelese, saya masih menikmati kopi, duduk di beranda rumah panggung, sesekali memperhatikan dua sosok yg timbul tenggelam di antara batang-batang pohon. sosok yg matanya mulai rabun dan tampak beberapa kali mengelak dari matahari yg saban pagi berlomba menyengat apa saja. pada satu kesempatan dua tubuh kurus itu menatap saya, seketika imaji & kisah-kisah dalam kepala saya pun berantakan.

  • Galeri Pertunjukan

    Pilgrim Project 1, karya/sutradara Ari Pahala Hutabarat, Produksi Komunitas Berkat Yakin 2016
  • Sore

    Halo, Sore. Sekerang kamu miring kemana? Lihat beberapa Bangau membuat sejumlah komposisi di udara, sebagian hinggap di pinggiran sungai dan rawa-rawa. Lalu kau mempertemukan ku dengan Batu-batu-yg disusun menyaru Orion, juga beberapa pohon Bodhi yg tertata rapi di sekitarnya. Tapi aku tak berniat semedi, hanya jalan-jalan, mengamati. Batu-batu menggemakan persamaan, sebagai yg entah dari mana asalnya lalu tiba-tiba, entah bagaimana caranya berada di situ, sebentuk keterlemparan. Tubuh yg berpindah begitu saja. Barangkali ia masih ingat atau setelah terguncang selama perjalanan jadi lupa riwayatnya. Tentu, aku bukan Aureliano Bendia, dan ini bukan Macondo. Migrasi jenis apakah ini? Orang-orang (yang menurutku lebih dulu) juga melihat-lihat, duduk, ada yg menyalakan musik bergenre dangdut remix dari android dg volume lumayan besar. Kita semua mendengar. Semacam gettering yg chaotic, suara masa lampau bersanding dg tubuh & ekspresi terkini.  Fenomena apa ini? Asap Djisamsoe sejenak melayang di udara, lalu lenyap begitu saja. 2 bangau berjalan di pinggir rawa, lalu terbang. Langit yg kemerahan berangsur gelap, lampu-lampu yg dipasang melingkar di sekitar batu-batu dan dekat pohon-pohon itu menyala. Gelap datang dari mana-mana. Biarkan saja.

  • Terjebak Prasangka

    Sartre bilang, dalam bingkai eksistensi, orang lain adalah neraka. Kalimat yang rumit untuk dipahami. Semacam benang kusut atau lorong bercecabang yang gelap dan panjang. Semenatara dalam kepala terjadi baku hantam, tarik ulur antara ingin bersama atau memilih sendiri. Dua hal yang sama-sama menawarkan kehilangan.  Tapi aku kehilangan apa? Jangan munafik. Ini yang sebenarnya. Kau bilang sebenarnya. Kamu hanya menghibur diri dan pura-pura menerima kenyataan.

    Tengoklah. lelaki itu melihat sebuah catatan.  Tiba-tiba pintu dan dinding kamar di gedor berita melonjakknya BBM,  harga sembako, dan juga barang-barang lain di pasaran. rumah-rumah di mesuji terbakar, negara tetangga menyulut permusuhan. Mereka mengklaim. Tapi situasi memang kacau, otak kita terlanjur karatan. Sejak dulu  kita tak sungguh-sungguh peduli pada budaya sendiri.  Malah dengan mata terbuka, dengan senyum yang memuakkan mengubur segenap warisan kultural itu;  yang terpenting sekarang adalah uang dan kekuasaan. Jadi tenang saja.

    Ia menghela nafas. Sebuah foto terjatuh ke lantai tanpa sengaja. Kau mengamatinya,  Barangkali kita tak akan pernah bertemu. Atau tak sungguh-sungguh membutuhkan pertemuan itu. Kita hanya ingin ditemani. Tapi selalu saja sulit untuk sungguh-sungguh berbagi, saling memberi,  harapan mendapatkan imbalan berapa kali lipat.

    Suatu hari mungkin aku akan menolak menjumpaimu. Sebab aku akan hilang dalam tatapanmu. Dalam peluk hangatmu, dalam sekian banyak perbincangan yang kita tahu sia-sia. Kita selalu saja gagal untuk sungguh-sungguh terbuka. Kita begitu takut sendiri. Kita begitu takut kehilangan. Takut ditinggalkan. Terlalu banyak ihwal yang ingin kita hindari.

    Tapi entahlah, aku sendiri tak terlalu pasti tentang hal ini. Kehadiranmu membuatku alpa. Meski terkadang aku merasa bahagia, yang terkadang terasa ganjil. sebab ada dua sungai mengalir setelahnya. atau tawa renyah yg tiada terkira, mengenang kekonyolan yg kita lakukan berulang-ulang.

  • Burung Bersayap Merah

    Matahari menertawakan Robert yang masih bersembunyi di balik jendela. “Pecundang,” ujar suara . Ia lempar Murakami yang belum selesai dibaca, menuntaskan wisky yang tinggal satu tegukan dan bergegas meninggalkan kamar. Di luar apartemen orang-orang hilir mudik hendak makan siang. Matahari nangkring di ranting akasia, Robert mengacungkan jari tengah ke langit. lalu mengambil pistol yang sejak semalam terselip di pinggangnya, pistol yang diambil dari laci lelaki yang seminggu lalu menceraikan ibunya. Robert melihat beberapa pasangan keluar dari hotel dan restoran.

    Sambil menghisap rokok putihnya pelan-pelan, Robert membidikkan pistolnya ke arah salah satu pasangan.

    “Mengapa kau harus bersama banci itu. Fuck you!”ujar Robert, lebih kepada dirinya sendiri.

    Letusan dari pistol Robert menggema. Perempuan itu bolong dadanya. Lelaki disebelahnya berteriak dan memaki takdir.


    Dua burung bersayap merah terbang ke langit.

  • Mimpi

    Suatu hari kau berkata

    “Aku akan mengajakmu kesuatu tempat, pohon-pohon itu sekarang ada di sana, sebuah bangku panjang berwarna hijau di pinggir kolam, sementara teratai mekar menandai cuaca, yang bukan kemarau dan bukan pula penghujan,”

    “Dimana?” tanyaku

    “Di sebuah taman, yang belum pernah kamu kunjungi. kamu boleh menyebutnya Negeri Kepingan Senja,” ujarmu

    Apakah udaranya dingin?

    “Udaranya hangat, seperti yang kamu harapkan,”

    Aku tidak mengerti, tetapi senyumku tiba-tiba saja bermekaran,

    “Dan langit akan selalu biru?

    “Ya, jika kau memintanya begitu,”

    Wanita itu menatap ombak yang tak henti menggapai bibir pantai. Pipinya pucat mungkin lantaran menunggu. Ah, andai saja lelaki itu lekas datang membawakan taman itu barangkali pipinya lekas merona merah jambu